Pernikahan merupakan
awal di mana manusia mengukur seberapa besar tingkat kedewasaannya menjalani
kehidupan. Banyak orang ragu untuk mengambil sebuah sikap tegas tentang
pernikahan. Pergelutan hati antara rasa sayang dan takut mengambil sikap.
Mempersiapkan diri mempunyai momongan, berarti biaya hidup bertambah sedangkan
hidup pas-pasan. Harus mempunyai kesiapan untuk melepaskan kebebasan, dimana
yang biasanya hang out dengan teman-teman sekarang harus memikirkan anak istri
di rumah. Dari sekian banyak orang, ada juga yang berani mengambil sikap mengenai
pernikahan. Sikap yang siap menerima semua yang akan muncul setelah menikah
nanti harusnya di acungi jempol. Selain pernikahan, perceraian pun sangat marak
terjadi di Indonesia. Menikah baru beberapa bulan, langsung cerai. Kalau kata
Syaharini ”Cetar membahana”. Pernikahan
yang miris sekali.
Sedikit
menyentil pandangan, sebenarnya pernikahan itu apa sih? Apakah perjanjian hitam
diatas putih atau sebuah penjanjian sehidup semati dan Tuhan menjadi saksi. Indah
sekali, apabila pernikahan itu sebuah perjanjian suci yang tidak bisa
dipisahkan oleh siapapun kecuali maut. Janji sehidup semati menjalani bahtera
rumah tangga baik suka maupun duka. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dianggap
sepele, karena tidak ada kecocokan langsung cerai. Itulah pernikahan.
Pindah Agama Karena Pernikahan
Pada awalnya mereka bertemu di stasiun
di daerah Depok. Betapa lucu pertemuan mereka, sesorang wanita dengan
tergesa-tegas mengejar keterlambatannya. Dari jauh seorang pria melihat gerak
geriknya. Pria tersebut dengan berani mempertanyakan kemana si wanita itu akan
pergi. Seperti gayung tersambut, jurusan kereta yang diambil mereka berdua sama
daerah Bogor. Mereka bercengkrama memperkenalkan dirinya masing-masing. Dari
hari ke hari semua berjalan dengan semestinya, sampai akhirnya lelaki mengetahui
status agama yang diyakini wanitanya. Si pria dengan taatnya meyakini agama Islam
dan si wanita yang juga taat meyakini agama Katolik. Kendala yang cukup besar
untuk dijalani keduanya. Banyak pertimbangan yang terjadi, bagaimana meyakini
kedua orangtua mereka untuk menerima pasangan mereka. Tapi dengan keyakinan
yang kuat lelaki dengan berani dan tegas berkata dalam hatinya bahwa wanita
yang berdiri dihadapannya sekarang ini akan menjadi istri dan menjalani biduk
pernikahan dengan dirinya. Resiko apapun itu akan dihadapi. Pilihan cuma satu
apakah salah satu dari mereka mengalah atau mereka berpisah karena
mempertahankan keyakinannya. Bukan main bukan? Seperti sinetron saja ceritanya,
tetapi ini benar-benar terjadi di realita kehidupan yang sebenarnya.
Salah
satu dari mereka berdua berkorban untuk pasangannya. Pada akhirnya dengan
langkah berani si wanita mengambil keputusan untuk pindah agama. Perdebatan keluarga
masing-masing pasangan tak bisa dihindari lagi. Keyakinan yang penuh sang ayah
dari wanita tidak merestui pernikahan mereka. Menolak keras, beliau merasa
kecewa dengan keputusan sang anak yang selama ini dibesarkan dan di didik.
Entah apa yang terjadi seiring berjalannya waktu, luluh tembok hati yang tinggi
sang ayah. Kebahagian anaknya melebihi apapun juga. Pernikahan pun berlangsung
dengan status mempelai wanita telah pindah agama mejadi seorang muslim (mualaf).
Cerita
belum selesai, sekarang pertanyaanya apa si wanita dapat menjalani kebiasaannya
terdahulu berubah setelah pindah agama. Kebiasaan kegereja setiap hari minggu
diganti dengan sholat 5 waktu di setiap
hari. Setelah panjang lebar berbicara dengan Theresia (30), Tres akhirnya mau
menceritakan sedikit tentang kehidupannya setelah dia pindah agama. Tres mengatakan
“Bayangin deh seandainya mbak yang jadi aku? Semua berubah 360
ketika mbak memutuskan
untuk mengubah keyakinan yang sudah 20 tahun menemani diri mbak” Ketika
mendengar ini, penulis sedikit terenyuh. Entah apa yang akan terjadi kalau
penulis berada diposisi tersebut. Mungkin penulis tidak kuat untuk
menghadapinya. Semua terjadi karena hati
wanita itu belum siap menerima semuanya. Ini terbukti dari pernyataan yang
berupa “Sebenarnya saat ini saya masih belom bisa sholat 5 waktu ama baca
Al-quran, entah kenapa kalau tidak ada suami saya tidak sholat. Bukan karena
saya tidak ingin, saya sangat ingin melakukannya tapi kesibukan saya mengurus
tiga anak yang masih kecil membuat saya lupa untuk sholat”. Satu hal yang dapat
diambil dari pernyataan tesebut adalah ketika kita mengambil keputusan besar
yang mungkin dapat merubah semua kehidupan, kita harus siap dengan semua
perubahan yang terjadi dan berani mempertangungjawabkan semua. Bukan saatnya
untuk menyalahkan, tapi sebaliknya lihat apa yang ada dibalik semua ini, mengapa
dia bisa seperti itu? Kita doakan saja semoga hatinya tidak ragu lagi dengan agama
yang diyakini sekarang.
Dapat
dilihat bahwa orang yang menikah dan berpindah agama tidak semuanya benar-benar
dari keimanannya yang juga ikut berpindah. Tapi hanya sebatas untuk mendapatkan
secarik kertas bernama surat nikah. Apa alasan pernikahan dapat dijadikan
alasan? Tidak, sebaiknya kalau pindah agama harus dari hatinya terlebih dahulu.
Sebelum menikah harus memantapkan hati biar tidak bimbang pada akhirnya. Sebenarnya
kalau membicarakan agama itu bawaannya agak sensitif terlalu rawan dibicarakan.
Saat kita berbicara ini mungkin berbeda dengan pengertian dari yang lain. Tapi
satu yang penulis tahu, bahwa yang kita hormati dan yang selalu kita mohon
pertolongannya saat kita kesusahan dalam doa adalah Sang Pencipta Yang Maha
Besar. Walaupun kita berbeda tata cara berdoanya tapi doa yang dihujukkan hanya
untuk NYA. Iya tidak??
Biodata Penulis
Nama :
B. Dinar Anggia (0906839)
Jabatan :
Mahasiswa Jurursan Bahasa dan Sastra Indonesia
UPI
“Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpimu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar