Pernikahan hakikatnya adalah sebuah impian bagi setiap pasangan, dengan menikah maka setiap pasangan memiliki impian untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah warahmamah. Selain bertujuan untuk menyempurnakan sebagian dari agama, menikah pun merupakan salah satu cara untuk memiliki sebuah generasi penerus yang lebih baik. Namun, apa jadinya jika kita menikah karena terpaksa? Pada kali ini pernikahan yang paksa, bukan berarti karena dijodohkan atau hal yang sejenisnya, namun lebih kepada keadaan yang memaksa.
Hamil di luar
nikah, atau Married by Accident. Kalimat
itu nampaknya saat ini telah cukup akrab di telinga kita. Saat ini fenomena
hamil di luar nikah bukanlah hal yang aneh, tabu atau bahkan sesuatu yang
salah. Entah dikarenakan keadaan zaman yang mengalami demoralisasi atau penurunan
moral, atau karena zaman kian menjauh dari nilai-nilai dan moral agama,
sehingga saat ini banyak sekali pasangan yang masih berstatus pacaran berani
melakukan hal-hal yang merupakan bagian dari hak dan kewajiban suami istri.
Ketika banyak sekali terjadi kasus seperti ini, lantas siapakah yang bersalah?
Lalu bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Tak merasa dosa atau hal yang
lainnya kah?Penulis
mewawancarai salah seorang sumber yang menikah karena hamil terlebih dahulu, ia
berusia 20 tahun. Sebut saja namanya AJ. Ketika ditanyakan bagaimana rasanya
menikah muda, ia menjawab. Jika menikah itu tidaklah seperti yang dibayangkan.
Pernikahan membutuhkan persiapan yang matang, tanpa adanya kematangan, mungkin
saja pernikahan itu menjadi tak bermakna, seperti dirinya yang memang menikah
karena terpaksa mengatakan bahwa ternyata menjadi ibu rumah tangga itu tanggung
jawabnya besar, banyak hal yang harus diuurus, dari A sampai Z. Semuanya harus
dilakukan. Andai saja ia tak memiliki kejadian MBA mungkin dia juga tak akan mau menikah muda.
Lalu, ketika
ditanyakan kenapa bisa melakukan hubungan suami istri, Ia hanya menjawab,
karena kasihan, selain faktor cinta tentunya. Penulis mengetahui bahwa mereka
berpacaran cukup lama yaitu dari awal masuk kelas 2 SMA, di umur 17 tahun, hingga lulus dan kerja.
Kebetulan AJ ini tidak melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, hanya sampai SMA saja. Ia
mengungkapkan, bahwa melakukan hubungan suami istri menjadi tantangan
tersendiri ketika melakukannya sebelum menikah, jika dibandingkan dengan
setelah menikah yang menjadi hal biasa-biasa saja. Meski awalnya Ia sempat
takut untuk melakukan hal itu, namun akhirnya ia luluh juga dan menyanggupi
permintaan pacarnya yang kini menjadi suaminya. Ia merasa terlanjur nyaah kepada pacarnya itu, bagaimana
tidak, RA sang pacar telah mengorbankan segalanya demi dirinya (AJ). Pada saat
dirinya tidak sanggup untuk melunasi biaya akhir sekolah yang merupakan salah
satu syarat wajib agar mendapatkan ijazah, RA lah yang membantu. AJ mengatakan
bahwa RA melakukan kewajiban-kewajiban layaknya seperti seorang suami ketika
mereka berpacaran, dari mulai memberikan uang saku yang cukup besar, antar
jemput sekolah, membelikan ini dan itu, bahkan setelah lulus sekolah dan dirinya harus mencari
pekerjaan pun, RA lah yang mengurus segala keperluannya.
Hal-hal yang tak
diperhatikan oleh orang tuanya seperti ongkos bolak-balik, biaya untuk lamaran
pekerjaan, semua ia dapatkan dari RA. RA sampai rela kerja pontang-panting,
minjam uang kesana kemari untuk menebus ijazahnya. Hati siapa yang takkan tersentuh
melihatnya. AJ juga menambahkan jika ia merasa bersalah ketika ia tak memberi
apa yang diminta oleh RA. Belum lagi ia mendengar cerita-cerita dari
teman-temannya semasa SMA yang memang telah melakukan hal tersebut dengan
pacarnya. Maka, semakin tergodalah Ia, AJ pun tak menampik jika ia bisa
melakukan hal tersebut karena nafsu. Apalagi menurutnya, setelah yang pertama, yang selanjutnya
itu telah menjadi kebiasaan, dan rasanya ada yang kurang ketika tidak
melakukannya setiap bepergian berdua dengan RA.
Penulis
sempat bertanya di mana ia melakukan hal tersebut, ia menjawab banyak
tempat yang bisa digunakan untuk melakukannya, misalnya saja di Lembang, di sana tersedia
tempat yang memang khusus untuk itu. Biaya sewanya 125rb per 12 jam. Atau
setelah ia pulang clubbing, karna tak
mungkin pulang di tengah malam. Secara lisan RA memang tak pernah mengungkapkan
keinginannya langsung, tapi AJ tahu, ketika ia diajak berduaan dengan RA pasti
arahnya ke sana.
Ketika penulis
bertanya apa alasan RA melakukan hal tersebut ia menjawab, justru karena merasa
sayang kepada AJ, ia ingin melakukan hal seperti itu. Hubungan suami istri
menjadi bentuk kasih sayang di antara keduanya.
Sementara itu,
ketika mengetahui bahwa ia hamil, tak sedikitpun di benaknya terbesit keinginan
untuk menggugurkan kandungannya. AJ sadar, bahwa lambat laun, kegiatannya yang
telah dilakukan sedari ia lulus SMA itu akan berakhir seperti ini. Namun ia
tidak menyalahkan siapapun, Ia hanya diam dan berkata pada RA, begitupun dengan
RA yang memang akan bertanggung jawab dengan menikahinya.Yang sempat
mengetahui bahwa ia hamil adalah ibunya, namun ibunya hanya menanyakan ia hamil
atau tidak, karena melihat putrinya yang muntah-muntah terhadap bau-bauan.
Ayahnya pun sempat mencurigai dirinya hamil, namun hal itu dibantah ibunya.
Sementara AJ hanya diam. Tak berkomentar. Ketika ia ditanya oleh orang tuanya
kenapa ingin cepat-cepat menikah, ia hanya menjawab ingin menikah muda sesuai
dengan targetnya yaitu 20-21 tahun. Ayahnya baru mengetahui AJ hamil ketika
sang perias pengantin memberitahunya. Meski awalnya Ayahnya sempat mengeluh,
dan berkata bahwa takkan mengadakan pesta besar-besaran kalau saja ia tahu AJ
hamil duluan.Reaksi mertua AJ,
ternyata tak sesuai bayangan, ketika ibu mertuanya tahu bahwa mereka menikah
karena hamil duluan, Ibu mertuanya berkata, andai ia tahu lebih awal, ia akan
menyuruh AJ untuk menggugurkan kandungannya. AJ bahkan menyaksikan ibu
mertuanya memukul RA ketika mengetahuinya. Ibu mertuanya merasa begitu malu
sekali, bahkan untuk syukuran tujuh bulanan, ia tak mau melakukannya. Namun,
ayah mertuanya lah yang tetap ingin melaksanakan adat itu, baginya bagaimana pun
anak dalam kandungan AJ tetaplah darah daging putranya dan harus disyukuri.
Pernikahannya yang
dilaksanakan pada bulan februari lalu, memang dirasakan mendadak oleh
teman-temannya, yang juga merasa aneh dengan pernikahan dadakan tersebut. Penulis yang
merupakan salah satu teman yang menjadi pagar ayu di acara pernikahannya,
sempat merasa kaget dengan apa yang dialaminya. Namun, disisi lain, banyak hal
yang bisa menyebabkan Ia melakukan hal tersebut. Salah satu faktor yang memang
klise namun tetap tak dapat dipungkiri adalah masalah keluarga. Keluarga adalah
sekolah yang pertama dan utama bagi setiap orang. Ketika keluarga tak bisa
menjadi sandaran dan panutan yang tepat bagi anak-anaknya, maka anak tersebut akan mencari
kebahagiaan di lingkungan luar. Pada kasus AJ contohnya, keluarganya memang
keluarga yang kurang mampu secara ekonomi, selain itu penerapan ilmu agama yang
kurang juga turut memengaruhinya. Orang tua yang cenderung membebaskan anaknya untuk pergi kemanapun yang
ia sukai, memberikan dampak negatif. Lingkungan sekolah dan lingkungan
pekerjaan juga memengaruhi.
Terlepas dari itu
semua, namun banyak hal yang dapat dipetik, AJ dan RA adalah salah satu contoh
kasus untuk hamil di luar nikah, terlepas dari dosa atau tidaknya dari apa yang
mereka lakukan, banyak hal yang perlu digarisbawahi. AJ yang harus menanggung
beban ketika ia hamil, dari mulai
cemoohan dan berbagai gunjingan dari para tetangga, tak bisa bebas kemanapun
yang ia inginkan karena telah mengandung, juga harus menyembunyikan
kandungannya dari semua orang. Banyak hal-hal yang tak terduga darinya. Namun, Ia
termasuk salah seorang perempuan yang tangguh. Ia berani menanggung resiko
tanpa mengeluh.Kini ketika ia
telah dihadapkan pada keharusan menjadi seorang ibu. Di tengah krisis ekonomi
terkadang ia harus mengurus anaknya sendirian, termasuk mengurus keluarganya
yang trerdiri
dari ayah dan keempat orang adiknya, karena ibunya terlibat kasus yang
menyebabkan ia harus dipenjara. Ia tak hanya berperan sebagai ibu bagi anaknya,
namun juga sebagai kakak yang harus mengurusi adiknya, belum lagi ia harus
bertindak sebagai menantu yang baik.
Seorang teman mungkin
akan merasa sedih dan kecewa. Ketika mengetahui temannya seperti itu. Namun sebagai
teman, sejatinya berusaha menguatkannya dan memperlakukannya seperti biasa saja dan
seperti tak pernah terjadi apa-apa. Karena di masa kesulitannya itu, ia
membutuhkan sandaran, yaitu teman yang bisa diajaknya bicara, meluapkan
kekesalannya, tempat keluh kesahnya sebagai seorang ibu, dan seorang istri. Pada akhirnya AJ berkata : “segala sesuatunya
memang tidak bisa dirubah, dan yang sudah terjadi ya terjadilah. Nasi memang
sudah menjadi bubur, namun yang terpenting adalah bagaimana cara kita
menyikapi, bukan meratapi.”*) Risca Olistiani, NIM 0909216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar